Penghargaan Satyalancana Wira Karya Di Tengah Kasus Agraria yang Belum Tuntas

Bupati Banyuwangi, Abdullah Azwar Anas menerima piagam tanda kehormatan Satyalancana Wira Karya dari Presiden RI Joko Widodo, kemarin (6/5). Penghargaan tersebut disematkan langsung oleh presiden pada pembukaan Pekan Nasional (Penas) Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) XV di Stadion Harapan Bangsa, Lhong Raya, Kota Banda Aceh, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Anas mendapat penghargaan tersebut atas jasanya dalam mempertahankan pangan, melalui kebijakan dan program pembangunan pertanian, dukungan sarana dan prasarana Agro Tourism dan Banyuwangi Expo, serta peningkatan sumber daya manusia.

Bupati Banyuwangi tersebut menjelaskan bahwa pertanian merupakan salah satu sektor terpenting dalam perekonomian Kabupaten Banyuwangi. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) 2015 menyebutkan sektor pertanian menyumbang 36 persen PDRB Banyuwangi atau setara Rp 21,9 triliun.

Namun, apakah piagam sekelas Satyalancana Wira Karya yang diberikan Joko Widodo hanya mempertimbangkan  kebijakan atau program kerja yang dibuat oleh suatu pemerintah daerah? Tidak mempertimbangkan adanya kasus terkait pertanian yang terjadi di daerah tersebut. Seperti kasus perampasan hak- hak masyarakat untuk bertani, bercocok tanam, dan yang jelas hak untuk hidup sejahtera.

Sebelum memberikan piagam kehormatan kepada Anas, seharusnya pemerintah pusat melakukan turun lapang terlebih dahulu. Bukan datang ke Banyuwangi hanya untuk menghadiri atau menyaksikan festival atau expo yang sifatnya hura – hura dan mendidik masyarakat hidup hedon. Namun pemerintah perlu memeriksa kondisi sebenarnya terkait dengan pertanian Banyuwangi. Tidak hanya mengambil data dari teks program kerja dan juga penghasilan daerah, yang hanya menampilkan huruf dan angka. Yang tidak dapat menjelaskan adanya penderitaan masyarakat yang dirampas haknya, seperti para petani Kampung Bongkoran Wongsorejo, Banyuwangi.

Kasus perampasan tanah yang di alami masyarkat Bongkoran sudah terjadi sejak lama. Berawal pada tahun 1980, pemerintah telah menerbitkan surat Hak Guna Usaha (HGU) kepada PT. Wongsorejo. Perusahaan tersebut memiliki hak pengelolaan tanah seluas 603 hektare, yang di dalamnya juga termasuk tanah warga.

Tanah yang dikelola oleh perusahaan ditanami pohon Randu, berakibat pada pertumbuhan tanaman petani Bongkoran yang mayoritas menanam jagung. Jagung yang ditanam dibawah pohon Randu pertumbuhannya tidak maksimal berakibat pada hasil panen yang menurun. Petani pun mengalami kerugian.

Dari situlah muncul aksi protes masyarakat Bongkoran kepada perusahaan dan pemerintah. Namun aksi protes warga tidak ditanggapi secara baik oleh perusahaan atau pemerintah. Justru masyarakat bongkoran mendapatkan intimidasi atau tindakkan kekerasan dari perusahaan.

Pada tanggal 12 Januari 2015, sekitar jam 14.00 para petani yang sedang di ladang diintimidasi, diancam, dan dirusak tanamannya oleh sejumlah orang yang diduga aparat TNI AL dan preman PT. Wongsorejo. Tak segan- segan aparat TNI juga menodongkan senjata api kepada petani yang ada di ladang.

Tindakan seperti itu sungguh tidak manusiawi, petani bukanlah binatang buruan yang tidak sepatutnya ditodong senjata api. Pun petani bukanlah kriminal yang mencoba melawan atau melarikan diri. Petani hanyalah orang yang bekerja dan mencari rezeki dengan bercocok tanam. Cangkul untuk menggali tanah dan sabit untuk memotong rumput. Apakah itu tindakan yang menimbulkan ancaman bagi Negara? Dan sekali lagi apakah mereka patut untuk ditodong senjata api? Mari berpikir tentang kemanusiaan.

Lalu sebenarnya aksi protes yang dilakukan oleh masyarakat bongkoran juga beralasan. Selain tanamannya yang tidak dapat tumbuh dengan baik karena adanya pohon Randu milik perusahaan,  Hak Guna Usaha (HGU) yang dimiliki oleh PT. Wongsorejo juga sudah habis sejak tahun 2012. Namun ditahun 2014 PT. Wongsorejo justru mendapat ijin baru, HGU menjadi Hak Guna Bangunan (HGB). Di lahan HGB itulah, Pemerintah Banyuwangi rencananya akan mendirikan kawasan industri bernama Wongsorejo Industrial Estate Banyuwangi. Pemerintah Banyuwangi dan PT Wongsorejo hanya memberikan lahan 60 hektar untuk petani.

Mungkin bisa diingat kembali pada tahun itu, bukannya Anas-lah yang menjadi Bupati Banyuwangi. Andai saja Anas lebih bijak dalam menyikapi masalah tersebut, mungkin masyarakat Bongkoran kini dapat bertani dengan aman. Tanpa dibayang – bayangi tindakan kekerasan dan todongan senjata api. Tapi apalah daya itu hanya sekedar “kemungkinan”.

Kasus agraria yang terjadi di Kampung Bongkoran tidak hanya merugikan masyarakat di wilayah pertanian saja, namun hal tersebut juga mempengaruhi pembangunan fasilitas umum daerah tersebut. Seperti jalan, fasilitas kesehatan, pendidikan, dan bahkan air.

Jalan menuju Kampung Bongkoran dapat dibilang tidak ada sentuhan pembangunan. Jalanan berdebu jika panas, berlumpur jika hujan, dan beberapa sisi jalan terdapat bongkahan batu – batuan besar. Jalan tersebut terkesan sengaja tidak dibangun oleh pemerintah daerah karena rutenya masuk dalam wilayah lahan konflik. Mengakibatkan jalan tempuh untuk menuju Kampung Bongkoran yang sebenarnya hanya berjarak kurang lebih 6 km dari jalan raya harus ditempuh selama hampir satu jam.

Di Kampung Bongkoran juga tidak ada fasilitas kesehatan, untuk sekelas Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) pun juga tidak ada. Bahkan jika ada ibu yang mau melahirkan masyarakat saling membantu membawanya ke kampung sebelah, menggunakan kendaraan Truk. Dapat dibayangkan, gimana kondisi ibu sudah mau melahirkan dinaikan ke atas Truk dengan keadaan jalan yang rusak untuk menuju puskesmas.

Ditambah lagi fasilitas pendidikan yang sangat minim. Keberadaan gedung sekolah pun hanya sampai Sekolah Dasar (SD) yang layak. Sedangkan untuk gedung SMP kondisinya sangat buruk serta kurangnya tenaga pengajar. Kondisi tersebut membuat tingkat pendidikan anak- anak Bongkoran sangat rendah.

Inilah sisi lain dari Banyuwangi. Kota dengan puluhan festivalnya, promosi tempat wisata besar- besaran, dan Expo dari kelas lokal hingga internasional mempertontonkan keindahan Banyuwangi. Itu semua hanya untuk menarik para wisatawan untuk berkunjung. Lalu bagaimana nasib rakyatnya yang terancam kelaparan karena gagal panen, terancam kematian karena tidak ada fasilitas kesehatan, serta menjadi bodoh karena tingkat pendidikan yang rendah. Dan apakah piagam tanda kehormatan Satyalancana Wira Karya pantas disematkan untuk Anas? Sekali lagi mari berfikir tentang kemanusiaan.[]


No comments