Hilangnya Manusia dalam Pabrik

Menurut mandor serta daftar absensi pegawai tercatat ada 130 orang buruh pada pabrik pengolahan keripik yang saya tempati saat magang kuliah. Mereka orang- orang di sekitar pabrik yang menjadi buruh produksi kripik. Para buruh dibagi dengan beberapa pekerjaan. Seperti pengupasan kulit singkong dan pisang, untuk memisahkan bahan dan kulitnya.

Pabrik ini memang membuat dua jenis keripik berdasarkan bahan bakunya. Namun secara rasa mereka membuat keripik manis dan asin. Setelah bahan di kupas untuk singkong dilakukan proses pengerikan, sebagai usaha memaksimalkan memisahan kulit dan juga menghilangkan kotoran seperti tanah. Lalu di cuci. Berbeda dengan pisang, bahan jenis pisang harus dilakukan perendaman terlebih dahulu untuk menghilangkan getahnya sebelum di cuci.

Mulai dari situ baru proses pengolahan keripik singkong atau pisang mengalami perlakuan yang sama, seperti pemotongan dan pengorengan. Untuk keripik yang digunakan untuk rasa manis di goreng langsung matang karena setelah ditiriskan satu malam untuk menunggu dingin, keripik tersebut langsung di kasih taburan gula yang sudah di selep terlebih dahulu. Mengapa di diamkan selama satu malam karena untuk menurunkan suhu keripik hasil penggorengan sampai dingin. Hal itu dilakukan agar saat penaburan gula tidak meleleh dan lengket. Oleh karena itu dilakukan pendinginan atau pendiaman selama satu malam.

Sedangkan keripik yang digunakan untuk rasa asin, dilakukan penggorengan setengah matang. Atau orang pabrik menyebutnya goreng putih karena keripik yang dihasilkan masih berwarna putih setengah matang. Tanpa menunggu satu malam keripik setengah matang tersebut dapat dilakukan proses selanjutnya. Setelah itu keripik di uleni dengan cara di celupkan kedalam sebuah cairan bumbu yang sudah disiapkan. Bahan seperti garam, bawang putih dan ketumbar menjadi bumbu perasa keripik asin. Dilanjutkan dengan penggorengan yang kedua sampai matang dengan ditandai keripik berwarna kuning kecoklatan. Lanjut ke proses pengemasan.

Dari semua proses tersebut hampir semua menggunakan tenaga manusia, kecuali pemotongan yang menggunakan mesin. Proses yang panjang dengan capain produksi sehari yang tinggi memang membutuhkan tenaga yang banyak. Butuh 130 tenaga manusia untuk melakukan tugas- tugas tersebut. Sejenak aku berfikir saat duduk istirahat setelah membantu proses penggorengan keripik. Jika semau tugas yang dilakukan secara manual dengan tenaga manusia diganti dengan mesin, bagaimana nasib 130 orang pekerja tesebut. Mungkin dalam kecepatan produksi pabrik tersebut akan lebih cepat, namun apa bila soal manusiawi 130 orang pegawai tersebut akan menjadi pengangguran.

Namun kenapa ada penelitian baik di perguruan tinggi atau riset-riset pemerintahan dan swasta untuk menciptakan mesin sebagai alat bentu kerja manusia. Banyak perguruan tinggi yang memfasilitasi para mahasiswanya untuk membuat mesin pengolahan bahan pangan. Setelah mahasiswanya mampu membuat mesin tersebut mereka membanggakan dengan menyerahkan gelar “mahasiswa berprestasi“.

Di awal perkuliahan selalu memamerkan dan menjelaskan teknologi- teknologi yang di buat atau digunakan oleh perusahaan- perusahaan pengolahan pangan di luar negeri. Berbeda dengan yang aku jelaskan diawal bahwa perusahaan tempat saya magang hampir semua menggunakan tenaga manusia, sesuatu yang dibuat kebanggaan justru yang –hampir semua menggunakan tenaga mesin. Jika hal tersebut diterapkan di perusahaan ini maka akan terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) sebanyak 130 orang dan mereka akan menjadi pengangguran. Hari- hari pabrik akan dihiasi oleh suara mesin besar yang sedang beroprasi tidak lagi ada riuhnya canda tawa para pegawai, hal yang mereka lakukan untuk menghibur diri saat bekerja.[]

1 comment: