HAM dan Kultur Cara Didik Murid
BANYUWANGI, Seneporejo- Saya masih ingat ketika kakak saya duduk di
kelas sekolah dasar, dia selalu sembunyi saat salah satu dari guru di
sekolahnya lewat dijalan. Kami sedang makan buah Jambu Biji yang ku petik dari
pohon jambu punya tetangga, lalu kami makan buah tersebut di gazebo depan
rumah.
“ Jok jok, ada pak guru ayo sembunyi-sembunyi
cepetan,” kakak saya mengajak sembunyi.
Saat itu saya masih belum sekolah jadi belum
tahu alasan kenapa kakak saya itu sebunyi. Dengan polosnya saya pun bertanya
penasaran.
“ Lho kok sembunyi, ada apa emang,” tanya
saya sambil memamah jambu yang kumakan tanpa dikupas.
“ Saya sungkan (merasa tak
enak hati) Jok kalau ketemu pak guru,” jawab kakak saya sambil sembunyi di
balik pagar rumah.
Memang masa itu rasa
hormat seorang murid kepada gurunya sangatlah tinggi. Bukan hanya guru yang
berusia lebih tua, namun cenderung pada dialah yang mengajari murid segala hal.
Mulai dari pelajaran pengetahuan umum sampai pendidikan moral. Sehingga apabila
murid tidak dapat mengikuti pelajaran dengan baik akhirnya akan kebawa di
lingkungan luar sekolah dengan rasa
sungkan.
Pun saya juga merasakan
hal yang sama ketika sudah duduk di bangku sekolah. Pendidikan moral dan sopan
santun sudah diajarkan mulai kelas satu. Pagi hari sebelum masuk dalam kelas
semua siswa dibariskan di depan kelas untuk doa bersama. Selesai itu murid
masuk satu persatu sesuai urutan barisnya. Ketika masuk kelas ada prosesi cium
tangan guru sebagai wujud penghormatan. Itu yang saya alami ketika masih duduk
di bangku sekolah dasar.
Selesai di dalam kelas
saat istirahat ataupun pulang sekolah ketika bertemu guru memang secara tidak
langsung akan tertanam rasa sungkan. Jika ketemu pasti para murid akan menunduk
ataupun membungkuk sebagi wujud hormat murid kepada guru.
Memang banyak cara yang
dilakukan guru dalam mendidik, ada yang memang mengajar dengan sangat sabar. Meskipun
muridnya sulit memahami materi pelajaran, dia tetap telaten (sabar) ngajarin
muridnya. Tapi juga ada yang marah-marah atau bahkan waktu itu juga ada yang
main fisik.
Dijewer, dicubit, didorong
kepalanya, sampai dipukul pakai penggaris atau kayu rotan pun juga ada. Dan itu
memang wajar. Secara pengalaman pribadi, saya pernah dipukul dengan kayu rotan
dibagian kaki. Saat itu karena ada test hafalan azhan, dan saya memang tidak
pernah bisa azhan. Dan saya memang tidak berusaha buat menghafalkan kalimat
azhan dengan alasan tidak suka. Pada akhirnya enam kali pukulan kayu rotan
mengayun dikedua kaki saya.
Jelas disitu memang saya
yang salah, malas tidak mau menghafal dengan alasan tidak suka. Dan ketika saya
cerita kepada orang tua justru orang tua mendukung. Saya yang disalahkan karena
memang saya tidak belajar saat itu.
Namun sekarang di era yang sudah modern dan
segalanya sudah di atur oleh undang-undang justru banyak guru atau tenaga
pengajar yang di kasuskan karena cara mendidik mereka yang dirasa keras. Dengan
tuduhan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Guru menjadi terbatas dan tidak
leluasa dalam mendidik para murid. Bayang-bayang hukum selalu membatasi dalam
kegiatan mengajar mereka. Karena jika seorang guru melakukan pemberian sanksi
kepada murid dan orang tua murid tersebut tidak terima mereka dapat
mengkasuskan guru tersebut ke penjara.
Sehingga sekarang guru tidak dapat bertindak
banyak dalam pemberian pendidikan kepada murid. Hanya memberikan materi atau
pengetahuan umum sedangkan untuk sopan santun dan perilaku, mereka tidak dapat
berbuat banyak. Jadi mungkin sungguh wajar jika para murid lulus dari
sekolahnya, mereka bebas semprot-semprot baju, potong pendek rok hingga diatas
lutut, cara hidup bebas yang semakin meningkat, hingga mereka menggunakan
cangkul untuk mencangkul tidak pada tempatnya.[]
No comments