Krisis Kepedulian Pemerintah Terhadap Pendidikan dan Pembangunan Kampung Bongkoran


Wongsorejo- Bongkahan batu besar yang bertuliskan Selamat Datang di SDN 4 Wongsorejo
Pagi yang basah, dari dini hari tadi tanah Kampung Bongkoran yang secara administrasi dikenal dengan nama Karangrejo Selatan, Kecamatan Wongsorejo, Kabupaten Banyuwangi diguyur hujan. Awan yang gelap dan rintik hujan yang cukup lebat masih bertahan hingga pukul 06.00 WIB pagi ini (23/10). Saya dan beberapa kawan sedang mengikuti Pesantren Agraria yang diselenggarakan oleh Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA) bertempat di Kampung Bongkoran ini.

Bertemakan tentang agraria, kami berdiskusi banyak hal mengenai kasus-kasus yang bersangkutan dengan agraria. Salah satunya kasus agraria yang terjadi di Bongkoran ini. Perampasan lahan pertanian warga Bongkoran yang dilakukan oleh PT Wongsorejo (pemodal), mengakibatkan terperosoknya tingkat kesejahtraan masyarakat diberbagai sisi. Dari segi ekonomi yang semakin menurun, layanan kesehatan yang sangat minim, akses jalan yang tidak tersentuh pembangunan, layanan sosial yang diabaikan oleh pemerintah, hingga layanan pendidikan yang terbatas mengakibatkan banyak anak-anak diumur yang masih dini harus putus sekolah.

Kurang lebih pukul 08.30 WIB hujan sudah mulai reda, kami menyiapkan perlangkapan alat tulis dan alat rekam guna memperlancar proses reportase kami. Hari ini kami ditugaskan untuk menuliskan kondisi masyarakat Bongkoran dari segi tingkat pendidikannya. Melihat banyaknya anak-anak yang putus sekolah, dan setelah itu bagi yang laki-laki mengharuskan mereka untuk bekerja membantu orang tuannya disawah. Sedangkan bagi perempuan banyak dari mereka yang sudah menikah atau sekedar dilamar seseorang di usia muda. Contohnya Susi, gadis yang masih berumur 18 tahun tersebut sudah pernah dilamar, hal yang sama juga terjadi pada Fatimah teman Susi. Di usianya yang masih kurang dari 18 tahun, Fatimah bahkan pernah dilamar sebanyak dua kali. Terbatasnya fasilitas dan rendahnya kualitas pendidikan menyebabkan anak dibawah umur harus bekerja dan menikah diusia yang masih dini.

Selesai menyiapkan alat tulis dan media rekam, kami mencoba melihat kondisi gedung Sekolah Dasar (SD) yang terletak di dusun ini. Letak Kampung Bongkoran yang ada di dataran tinggi menyajikan pemandangan alam yang indah dan udara yang masih segar, hamparan lahan pertanian, gunung, dan laut selat Bali terlihat. Namun pemandangan alam yang indah tidak sebanding dengan kondisi jalan di Kampung Bongkoran ini. Kondisinya yang berlumpur menghambat laju langkah kami, karena hanya beberapa langkah berjalan kami harus berhenti dan membersihkan tanah yang menempel pada sandal. Tak hanya itu keberadaan batu- batu besar di tengah jalan juga mengharuskan kami untuk berhati-hati dalam melangkah. Menjaga diri agar tidak tersandung atau tergelincir oleh bebatuan jalan tersebut.

Di tengah perjalanan kami juga melihat para warga sedang sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Ada ibu-ibu yang memanen hasil sawahnya berupa cabai serta ada bapak-bapak yang sedang memperbaiki jalan depan rumahnnya yang rusak karena hujan. Tegur, sapa, dan senyum selalu muncul antara kami dan warga. Tidak jarang, mereka juga menawari kami mampir kerumahnya. Seperti itulah keramahan masyarakat Bongkoran kepada kami.

Harapan dan Semangat Atas Pendidikan

Langkah kami terhenti di rumah seorang warga, terlihat ada seorang ibu yang sedang sibuk menata kayu bakar di samping rumahnya. Kami pun menghampiri ibu tersebut.

“Assalamualaikum buk”, sapa saya memberi salam sambil mendekat dan menyodorkan tangan untuk berjabat tangan.

“Wallaikum salam nak, wah….. sini-sini masuk rumah”, jawab ibu tersebut sambil mengusap tangannya ke baju yang dipakai lalu menerima jabat tangan kami.

Kami pun masuk kedalam rumah serta memperkenalkan diri begitu pula sebaliknya. Rumah berdinding kayu dan berlantaikan tanah menjadi tempat istirahat yang nyaman bagi pasangan Atwi (46) dan Tolaati (49) bersama ke-3 anaknya Hasan (18), Fatimah (14), dan Misyanto (3). Di dalam rumah hanya 1 almari yang digunakan sebagai sekat antara ruang tamu dan dapur, serta  ada 1 meja dan 2 kursi panjang yang terbuat dari kayu, di sampingnya terdapat  tempat tidur. Kebetulan Atwi sedang tidur di situ.

“Pak, bangun ada anak-anak main kesini”, kata Tolaati membangunkan suaminya.

“Pak….”, senyum kami sambil menyapa.

Atwi bangun dari tempat tidur dan menghampiri kami mempersilahkan duduk.

“Monggo nak duduk, maaf rumah bapak seperti ini”, kata Atwi saat menjabat tangan kami sambil mempersilahkan duduk.

“San, Hasan… ayo keluar ini lho ada mas-mas dan mbak-mbak datang”, teriak Tolaati memanggil Hasan, anak pertamanya sambil membawa pisang dari dapur.

“Ayo nak dimakan, hanya ini yang ibu punya”, ucap Tolaati menawari pisang.

Hasan keluar dari kamarnya yang berada dibelakang dekat dapur. Lalu berjabat tangan dan duduk disamping kami.

“Ini buk, maksud kedatangan kami kesini ingin bertanya- tanya tentang pendidikan di kampung ini. Apa ibuk dan bapak bersedia?”, papar Usman teman saya menyampaikan kedatangan kami.

“Iya nak bisa”, jawab Tolaati menerima wawancara kami.

Tolaati merupakan ibu yang memiliki semangat dan harapan besar terhadap pendidikan anaknya. Meskipun secara ekonomi dia termasuk orang yang tak punya, namun dia selalu semangat dalam menyekolahkan anaknya. Cita-citanya agar anaknya dapat melanjutkan pendidikan ketingkat yang lebih tinggi dan berharap dapat membantu dalam menyejahtrakan masyarkat kampung Bongkoran ini.

“Cuma cita-cita saya mulai di dalam perut ingin anak saya dapat berguna bagi masyarakat atau jadi dokter agar dapat membantu kesehatan warga sini”, cerita Tolaati kepada kami tentang harapan dia terkait pendidikan anaknya.

“Kesulitan ibu menyekolahkan anak apa buk?” tanya Usman lebih lanjut.

“Ya itu nak, susahnya kalau anak-anak mau sekolah ini tidak punya uang, mau memberi uang saku saja tidak bisa. Kadang-kadang saya hanya bisa kasih bekal, di dalamnya pun hanya lauk sambal”, jawab Tolaati dengan mata memerah sambil menunduk.

Tolaati menceritakan bahwa Hasan sering diejek oleh teman- temannya karena hanya membawa bekal yang isinya hanya nasi jagung.

“Sampai temannya bilang, san… kok cuma nasi kamu yang unik nasinya. Kan nasinya nasi jagung kan katanya unik katanya temannya itu”, jelas Tolaati sambil meneteskan air mata.

Sesaat kondisi menjadi sunyi ketika Tolaati menangis diikuti Atmi dan Hasan yang juga menunduk dengan muka yang pucat. Namun Tolaati mengaku tetap bersyukur masih dapat menyekolahkan anaknnya hingga SMA.

“Hasan kalau kesekolah naik apa?”, tanya Ira teman saya kepada Hasan.

“Naik itu mbak”, jawab Hasan sambil menunjuk sepeda motor SupraX yang penuh lumpur disisi depan pojok rumah.

“Kalau hujan gini gimana San… jalannya”, lanjut Ira bertanya.

Wah… kalau musim hujan seperti ini pasti licin mbak jalannya, soalnya jalannya juga berlumpu”, jawab Hasan menjelaskan.

“Kamu gak pernah jatuh San…?”, tanya saya melanjutkan Ira.

Ya… kalau jatuh sering mas, tapi sudah terbiasa. Mau gimana lagi soalnya memang jalannya rusak kayak gitu”, jelas Hasan menjelaskan.

“Kalau masalah fasilitas sekolah giman San, apakah tercukupi?”, tanya Ira melanjutkan.

“Saya kan sekolah SMAnya ditimur (dekat jalan raya) mbak, kalau disana bagus fasilitasnya. Tapi kalau SD dan SMPnya kurang mbak”, jawab Hasan menjelaskan.

“Kurang apanya?”, lanjut Ira bertanya lebih dalam.

“Ini mbak, dari SD sampai SMP tidak ada fasilitas seperti computer sehingga waktu SMA saya tidak tahu sama sekali tentang computer”, papar Hasan .

Selain itu Hasan juga menjelaskan bahwa dari segi tenaga pengajar di SD dan juga SMP yang ada di Bongkoran jumlahnya kurang. Tidak jarang satu  orang guru mengajar 2 mata pelajaran disetiap harinya. Hal tersebut membuat penyampaian materi oleh guru menjadi lambat dan tidak maksimal. Sehingga penguasaan materi oleh murid pun sulit.

“Jujur saja sampai sana (sekolah SMA), saya itu murid yang paling dan bodoh paling jauh ketinggalan pelajaran”, tutur Hasan saat menjelaskan kondisinya ketika baru saja masuk SMA.

“Lalu apa motivasi kamu untuk terus malanjutkan sekolah ke SMA?”, tanya ira.

“Saya memang ingin lanjut mbak, tapi saya juga ingin member motivasi kepada remaja-remaja sini (Bongkoran) untuk semangat dalam menempuh pendidikan”, tungkas Hasan.

Namun semangat Hasan dan harapan Tolaati terhenti ketika Hasan hanya dapat melanjutkan sekolah pada tingkat SMA. Faktor ekonomi menjadi penyebab utamanya. Sedangkan Fatimah adik Hasan hanya dapat mengenyam pendidikan di tingkat SMP saja. Karena jarak SMA yang cukup jauh serta jalan yang rusak membuat Fatimah tidak dapat melanjutkan sekolah. Akses jalan yang sulit dan keberadaan sekolah SMA yang jauh membuat rata-rata anak-anak kampung Bongkoran ini kebanyakan hanya lulusan SMP. Karena di Bongkoran ini hanya sebatas sekolah SMP yang ada.

Pendidikan dan Pembangunan yang Sengaja Dikerdilkan

Selesai kami berbincang dengan keluarga Atwi dan juga menyatap beberapa buah yang disajikan, kami melanjutkan perjalanan kami menuju Sekolah Dasar untuk melihat kodisi gedungnnya. Dengan menempuh jarak kurang lebih satu kilometer, dengan kondisi jalan yang menanjak dan tetap berlumpur berbatu akhirnya kami sampai di sekolahan tersebut.

Terlihat sebuah papan nama sekolah dasar yang terukir disebuah batu besar, yang tertulis “SELAMAT DATANG di SDN 4 WRJ”. Dilihat dari kondisinya papan nama tersebut baru di cat kembali karena memang kondisi catnya masih belum ada yang mengelupas.

Memasuki wilayah sekolahan kondisinya sangat sepi, karena kebetulan hari ini Hari Minggu sehingga para murid libur. Kondisi gedung SDN 4 Wongsorejo tersebut juga masih bagus cukup bersih. Hampir tidak ada keanehan untuk kondisi gedung sekolah. Untuk ukuran ruang kelas juga cukup luas dilihat dari banyaknya kotak platfon terdapat 5 x 7 kotak platfon, kondisi kursi meja baik, alat belajar mengajar juga ada. Saya mencoba berkeliling melihat ruang dari kelas ke kelas meskipun hanya lewat jendela. Namun langkah saya terhenti ketika melihat ruang belajar kelas 3, dari pengamatan saya ternyata kelas tersebut lebih kecil daripada kelas yang lainnya sekitar 3 x 5 meter.

“Sus, ini dari dulu ruangannya seperti ini?”, tanya saya penasaran melihat kondisi kelas yang berbeda ukurannya.

“Iya mas, dari dulu memang seperti itu. Bahkan dulu kelas itu tidak dipakai kok, kalau dulu dibuat gudang,” jawab Susi teman kelompok saya, sekaligus anak asli Bongkoran yang dulu pernah sekolah di SD tersebut,

Karena pada saat itu hari libur kami tidak dapat bertemu dan mewawancarai salah satu tenaga pengajar di sekolah tersebut. Rumahnya pun cukup jauh karena diluar dari wilayah Kampung Bongkoran ini. Setelah berkeliling dan melihat kondisi kami menuju rumah ketua RT di Kampung Bongkoran ini, yang kebetulan rumahnya tidak jauh dari sekolahan tersebut.

“Pak itu kondisi sekolah SD, semenjak bapak tinggal disini apa ada perubahan?”, tanya saya meminta penjelasan mengenai perkembangan sekolahan SD kepada RT.

“Ya dari dulu hingga sekarang ya gitu- gitu aja mas”, jawab Rudi (59) sebagai ketua RT Kampung Bongkoran ini.

“Kalau minat warga sini menyekolahkan anaknya gimana pak?”, tanya saya lebih lanjut.

“Iya banyak semua minat atas pendidikan anaknya mas, tapi  SMPnya tidak semua sekolah rata-rata putus sekolah, dan kerja tani”, ucap Rudi menjelaskan.

“Kira-kira faktornya apa pak?”, tanya saya mengenai penyebab banyaknya anak yang putus sekolah.

“Kurang tahu ya as, tapi yang jelas kondisi ekonomi orang tua menjadi faktor utamannya”, tutur Rudi.

“Kalau pemerintah apa pernah memberi bantuan ke sekolahan pak?”, tanya saya mengenai bantuan dari pemerintah.

“Pemerintah aja belum memperhatikan pendidikan sini mas, jalan aja masih rusak dan tidak ada bantuan dari desa”, tungkas Rudi member penjelasan terkait pendidikan dan pembangunan Kampung Bongkoran.

Rudi juga menjelaskan bahwa daerah Karangrejo Selatan ini (Bongkoran) menjadi daerah yang dianak tirikan oleh kepala desa. Hanya Karangrejo Selatan ini yang tidak mendapat bantuan untuk pembangunan dari desa. Sedangkan untuk daerah di sekitarnya, seperti Karangrejo Utara dan Alasbulu sudah mendapat bantuan dan pembangunannya lancar.

“Kira-kira apa pak yang membuat Karangrejo Selatan ini dianak tirikan”, tanya Ira sembari sambil mencatat.

“Lurahnya pilih kasih, alasannya kalau desa sini di kasih bantuan bakal berurusan dengan PT (pemodal) soalnya jalan desa ini melewati daerah PT dan tanah konflik itu”, tutur Rudi memberi penjelasan.

“Berarti jalan juga mempengaruhi pendidikan Kanpung Bongkoran ini ya pak”, tambah saya.

“Dari jalan iya, ekonomi iya, apalagi tanahnya mau diambil mas”, tungkas Rudi.

Setelah berbincang- bincang bersama Rudi selaku ketua RT Kampung Bongkoran, mengenai tindakan pengkerdilan pendidikan dan pembangunan yang dilakukan secara sengaja oleh pihak Desa, kami melanjutkan perjalanan kami kerumah salah satu warga yang menjadi ketua Organisasi Petani Perempuan Warga Bongkoran dan aktif dalam memperjuangkan hak rakyat akan tanah, kesehatan, dan pendidikan. Namanya Nur Cholisah (34) yang akrab dipanggil Bu Lis.

“Buk, kalau menurut ibuk kondisi pendidikan di kampong ini gimana buk?”, tanya saya memulai obrolan.

“Kalau disini untuk SDnya saya rasa cukup bagus mas, Cuma SMPnya ini yang perlu ditingkatkan”, jawab Cholisah.

“Maksutnya perlu ditingkatkan gimana buk? Dari segi apanya?”, tambah usman bertanya.

“Gini mas, kalau di SMP itu gurunya kurang sehingga pelajarannya tidak maksimal, lalu kondisi jalan yang rusak seperti ini membuat para guru datang telat. Kadang jam 8 kadang jam 9, kalau masuk pelajarannya pun juga gak full”, jelas Cholisah.

“Lha apa tidak ada guru yang dari sini buk?”, tanya saya lebih lanjut.

“Tidak ada, guru- guru tidak ada yang dari sini (bongkoran) semua guru dari wongsorejo sana”, jawab Cholisah sambil menunjuk arah timur.

“Kalau jarak sini dengan SMP terdekat berapa buk?”, tanya saya mengenai jarak tempuh ke SMP.

“Sebenernya deket mas Cuma dua kilo, tapi medannya itu lho sulit melewati jurang- jurang. Apalagi kalau musim hujan banyak murid yang gak masuk karena medannya sulit”, jelas Cholisah sambil memperagakan kondisi jalan yang berjurang.

“Lalu gurunya gimana buk”, tanya saya lebih lanjut.

“Gurunya tetap masuk meskipun telat, Saya lihat itu kalau hujan guru- guru celanannya dilipat sampek lutut, sepatu tidak dipakai dan sepeda itu tidak kelihatan seperti sepeda sudah, penuh lumpur”, jelas Cholisah.

Cholisah juga menuturkan kalau sebenarnya jarak antara Kampung Bongkoran ini dengan kelurahan dan kecamatan tidaklah jauh. Tapi kenapa kondisi desa tersebut seperti tidak di hiraukan oleh pemerintah.

“Disini tu anahnya, padahal jarak antara kecamatan wongsorejo dengan dusun sini itu tidak terlalu jauh hanya 6 sampai 7 kilometer tapi toh kenapa kita itu tidak dipandang sama pemerintah. Padahal kita sudah bikin proposal, bikin permintaan tapi tidak pernah di respon”, keluh Cholisah sambil menggeleng-gelengkan kepala sebagai tanda kekecewaannya terhadap kerja pemerintah.

Selesai berbincang dengan Cholisah, kami kembali ke Pos Omah Tani Bongkoran untuk melanjutkan diskusi agraria bersama kawan-kawan. Melihat kondisi realita yang demikian membuka pandangan saya terhadap pemerintahan Kabupaten Banyuwangi. Kinerja Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas yang digaung-gaungkan kesuksesannya dalam menjalankan pemerintahan, dengan banyaknya festival dan mengangkat potensi tempat wisata di Banyuwangi ternyata menyimpan minimnya kepedulian terhadap nasib rakyatnya sendiri yaitu masyarakat Kampung Bongkoran.[]



Nb: Tulisan ini juga dimuat di forbanyuwangi.org



No comments