Makan Itu Nasi
BANYUWANGI,
Dasri- Kemarin, hari sabtu saya pulang ke kampung halaman (Banyuwangi) setelah
satu minggu penuh melakukan aktivitas di Jember. Seperti biasa saya tidak
langsung pulang ke rumah, melainkan saya sempatkan mampir ke rumah mbah saya.
Sampai disana saya langsung parkir motor yang saua pinjam dari teman.
Tak
lama kemudian mbah saya keluar dari dapur denga membuka pintu. Mungkin dia
mendengar suara mesin motor yang saya pakai.
"Owalah,
kamu to nak, kirain siapa. Baru pulang dari Jember?" sapa mbah saya dalam
bahasa jawa.
"Iya
mbah." jawab saya sambil duduk di kursi depan dapur.
"Ya
sudah, cepat makan, mbah baru selesai masak." suruhnya.
"Sudah
mbah, tadi saya beli cilok di pinggir jalan." jawabku.
"Itu
namanya belum makan nak." katanya.
"Loh
kan sama saja mbah. Yang penting saya sudah tidak lapar." balasku sambil
meletakkan kepalaku di sandaran kursi melepas lelah.
"Ya
nggak sama nak. makan itu sama nasi." jelasnya sambil masih ribet di dalam
dapur.
Meskipun
beliau ada di dalam dapur, saya masih bisa mendengar suaranya dari celah-celah
anyaman bambu. Merasa agak menganggur saya mengeluarkan smartphone saya dari
dalam saku dan langsung mengotak-atiknya.
"Berarti
kalau tidak makan sama nasi, namanya belum makan ya mbah?" tanyaku meminta
penjelasan sambil mengotak- atik smartphone.
"Iya
gitu nak, kan emang dari dulu kita makan nasi. Jadi dalam sehari kita harus
makan nasi." jelas mbah.
"Terus
seumpamanya mbah makan roti itu juga tetap harus makan nasi?" tanyaku
melanjutkan.
"Ya iya
nak, kamu kira aku sakit makan roti aja?" jawabnya sambil bercanda.
Menurutnya hanya orang sakit yang makan roti sebagai pengganti nasi.
Lalu kami
berduda tertawa. Mbah mengulangi perintahnya menyuruh saya makan. Menghormati
nasihatnya aku berdiri dan menuju ke dapur untuk mengambil makan. Sambil mengambil
nasi dan lauk, aku bertanya pendapat mbah seumpama nasi diganti dengan singkong
atau ketela rambat.
"Ya
nggak bisa nak, singkong sama ketela rambat hanya buat ngemil aja."
jawabnya.
"Oh,
gitu ya mbah." jawabku sambil berlalu mencari tempat duduk untuk makan.
Orang awam
seberti mbah saya itu tidak bisa menerima diversifikasi pangan. Karena tidak
mudah mengganti kebiasaan makan nasi dengan yang lainnya. Meskipun singkong
atau ketela rambat yang diolah dan dibentuk mirip nasi, tetap tidak akan mudah
diterima. Karena menurut saya rasa yang beda juga akan menjadi pertimbangan.[]
No comments