Masa Kecil Bersama Layang-layang

PROBOLINGGO, Besuk- "Kuambil bambu sebatang, kupotong sama panjang. Kuraut dan kutimbang dengan benang. Mukadimah layang-layang".

Penggalan lagu layang-layang itu kudengar ketika aku sedang asik menikmati segelas kopi bersama teman-teman di sebuah warung kopi. Kami sedang mendiskusikan hal-hal kedaerahan, hal-hal yang berbau nak kanak dhisah (anak desa) katanya orang Madura. Lalu seorang gadis berkerudung merah muda yang berada di meja sebelah menyanyikan lagu layang-layang. Diikuti teman-temannya, ia memecah sunyi malam itu. Sepertinya mereka adalah anak-anak UKM seni yang sedang menunggu santap sahur. Lagu yang mereka nyanyikan membuatku teringat dengan masalalu. Masa kecilku di desa.

Beberapa tahun lalu ketika aku masih duduk di bangku sekolah dasar. Sepulang sekolah setelah mengganti seragam dengan kaus, aku akan berlari menuju lapangan yang hanya berjarak sekitar 20 meter dari rumah. Biasanya di setiap musim panas banyak anak-anak yang bermain layang-layang. Begitu juga aku dan teman-temanku, sering kali kami berjanji bertemu di lapangan sepulang sekolah untuk menerbangkan layang-layang.

Kala itu layangan sangat populer di setiap musim panas, mungkin sekarang juga (atau menurun). Mainan yang seharga 500 rupiah kurasa cukup terjangkau. Namun tidak semua layangan didapat dari membeli. Ada juga yang didapat dari proses pengejaran. Ya, selain ada pemain layangan, juga ada pengejar layangan. Dan karena aku tidak begitu mahir dalam memainkan layangan, aku lebih sering mengejar layangan yang putus setelah kalah duel.

Satu untuk semua, atau siapa cepat ia yang dapat,kurasa itu istilah untuk menggambarkan layangan yang putus. Setiap layangan yang putus akan dikejar oleh anak-anak yang melihatnya. Entah itu mereka yang memang menunggu, tidak sengaja melihat dan ikut atau sang pemilik yang tidak rela layangannya di ambil orang.

Berbekal sebatang galah panjang, setiap pengejar akan berlomba untuk mendapatkan layangan yang terombang ambing ditiup angin. Menyebrangi sungai, menerobos halaman rumah orang atau melewati pematang sawah sudah menjadi hal yang biasa bagi para pengejar. Mereka akan mengincar benang layang yang masih tertinggal. Siapa yang cepat mendapatkannya ia yang menjadi pemilik layangan selanjutnya. Namun tak jarang layangan yang didapat rusak, karena tersangkut atau saling berebut.

Selain memainkan dan melakukan pengejaran, keasikan layangan juga pada eksperimen yang dilakukan. Untuk anak - anak yang kreatif, layangan yang dibeli biasanya akan dihias, entah di warnai atau diberi tambahan atribut seperti ekor, dll. Namun untuk mereka yang senang pada duel layangan, eksperimen dilakukan pada benang yang digunakan. Dari mengganti jenis benang hingga menambahkan pecahan beling pada benang yang dilekatkan menggunakan lem. Masih sangat menyenangkan.

Kini, di desaku yang berada di kecamatan besuk, Probolinggo, khususnya anak-anak sudah jarang yang bersemangat untuk memainkan layangan. Apakah karena zaman sudah beralih ke digital yang biasanya disebut generasi menunduk. Aku juga tidak tau. Tapi yang pasti permainan layangan masih tidak akan punah.

Di tempat lain ada yang sering mengadakan festival layangan, dimana bentuk layangannya tidak lagi hanya seperti wajik. Juga ternyata layangan dapat menghasilkan untung selain dalam proses penjualannya. Seperti yang pernah saya lihat dan dengar, di salah satu perguruan tinggi negeri di Jember biasanya ada beberapa orang dewasa yang (katanya) berjudi layangan. Terserahlah, aku hanya berterima kasih pada permainan layang-layang yang membuatku memiliki masa kecil yang menyenangkan.[]

No comments